Rabu, 11 Juni 2014

Pencarian Jati Diri

PENCARIAN JATI DIRI
Oleh : Ary Al Ghaida

“Alam bisa memberikan kehidupan kepada setiap manusia, tetapi tidak semua manusia bisa memberikan kehidupan kepada alam. Alam bisa memberikan perlindungan kepada semua manusia, tapi tidak semua manusia bisa melindungi alam.” 

Sabtu, 29 December 2012 pukul 06.00 AM. Pendakian pertama ku di Yogyakarta tepatnya dikawasan daerah Kaliurang ketika aku mengikuti Diksar Lapangan, yang tak mungkin dapat kulupakan. Jalan yang panjang dan terjal menembus hutan lebat dan monyet berkeliaran dikiri kanan jalan dengan tidak menghiraukan betapa lelahnya kaki melangkah, mendaki dan menuruni gunung, tergelincir, terpeleset, tersandung, dan tersangkut. Pohon tumbang, batu bergoyang, jalan yang curam dan jurang yang terjal itu semua merupakan jalan yang kulalui dibawah panasnya mentari dan dinginnya air hujan. Rasa lelah sudah tak lagi ku hiraukan didalam perjalanan, setiap kali ku berhenti sejenak untuk beristirahat aku selalu mendengar sebuah suara agar melanjutkan perjalanan, suara itu mengatakan “sebentar lagi kita sampai” begitu seterusnya, kata-kata itu terdengar ditelingaku, terekam diotakku, dan tersimpan dihatiku sehingga bisa mengembalikan semangatku yang sudah luntur terkena lelah. Ketika didalam perjalanan, aku merasakan sebuah bantuan yang sangat besar, bantuan itu berasal dari alam. Ketika air minum habis alam ada, dia menyediakan sungai dengan air yang jernih dan dingin untuk diminum. Ketika perut lapar dan sangat kelaparan disana ada alam, dia menyediakan macam-macam buah-buahan dan sayur-sayuran untuk bisa dijadikan makanan. Saat itu, aku merasa sangat dekat dengat alam, sampai sangat dekatnya aku pun merasa sangat dekat dengan kematian. Karena, tepat dibelakang ku berdiri kokoh Gunung Merapi yang sekali dia memuntahkan isi perutnya, habislah semua disekitarnya tampa tersisa satupun. Tapi saat itu juga aku sadar, aku tak sendirian ada saudara-saudaraku bersamaku saat itu. Maka, apa yang kurasakan perlahan sirna karena kehadiran mereka di sekitarku.
Ketika sampai dipuncak, semua rasa lelah yang sebelumnnya menjadi beban langkahku tiba-tiba hilang ketika aku melihat bentangan alam yang begitu luas dan indah. Terbayarlah sudah perjalananku mendaki sejak pagi, ingin rasanya aku berada di sana selamanya untuk menikmati keindahan alam setiap saat dari atas gunung tetapi itu tak mungkin aku lakukan karena aku sadar aku harus turun kembali kebawah sana sebelum sore karena dibawah sanalah kehidupanku berjalan. Ditempat peristirahatan pertama kami menemui air terjun, airnya yang sangat dingin membuat siapa saja ingin mencuci muka disitu apalagi setelah mendaki gunung. Kami gunakan waktu istirahat itu untuk makan, maka proses masak memasak pun berlangsung bahan yyang kami masak semuanya kami ambil dari alam di sepanjang perjalanan tadi. Tak ingin membuang waktu sia-sia pejalanan pun dilanjutkan karena perjalanan kami masihh jauh.
Didalam perjalanan pulang tiba-tiba hujan turun, dibawah rintihan air hujan dan suhu gunung yang begitu dingin perjalanan tetap dilanjutkan. Kembali lagi rasa lelah menghampiri kami semua. Salah satu pemicu kemarahan adalah lelah, tak bisa mengendalikan emosi membuat semuanya berantakan. Apapun keadaannya kami harus tetap bersama, namun tak dapat dipungkiri ketika salah seorang dari kami benar-benar tak bisa mengendalikan emosinya kami pun seketika menjadi pecah belah, sangat sulit menyatukan kami kembali bersama-sama saat itu tapi biar bagaimana pun itu harus dilakukan, karena kebersamaan adalah segalananya, tampa kebersamaan perjalanan ini tak akan berhasil. Kami pun mencoba dan terus mencoba, tetapi tetap saja kami masih tercerai berai sampai pada akhirnya aku kembali mendengar suara yang memperingatkan kami untuk kembali bersama-sama, suara itu berkata “jika kalian tak bersama-sama lagi, maka untuk apa kalian ada disini, pulanglah jika kalian hanya memikirkan diri sendiri, pulang saja, pulang saja.”
Kami semua terdiam saat itu, aku tak tahu apa yang dipikiran saudara-saudaraku saat itu, yang jelas aku hanya berpikir dan bertanya-tanya dalam benakkku “mau pulang kemana? Satu-satunya jalan pulang hanya ini, sangat tidak mungkin kalau kita pulang menggunakan jalur putar balik, karena itu sangat memakan waktu tentunya dan mungkin bisa sampai malam kita baru sampai di bawah”. Namun aku tetap diam begitupun dengan yang lainya. Tetapi tak ada yang menyangka kata-kata itu bisa membuat kami menyatu kembali, kami sadar tak ada yang bisa kami lakukan jika tak bersama-sama. Perjalanan kami pun dilanjutkan kembali, dengan terus menuruni gunung yang pada perjalanan terakhir sebelum sampai di tempat tujuan ada sekelompok monyet yang bergelantungan dipohon mereka terus meliatin kita sampai kita jauh, aku merasa aneh berbagai pertanyaan pun muncul dibenakku yang pada akhirnya aku berpikir mungkin mereka mengucapkan “selamat berpisah dan sampai bertemu lagi” sangat mengesankan. Tidak terasa akhirnya kami sampai di bawah dan beristirahat melepas lelah dan makan bersama dengan dialaskan sebuah plastic besar. It’s very delicious, yummy.
“Pendakian yang berhasil adalah ketika turun sipendaki membawa perubahan pada dirinya”

Selasa, 10 Juni 2014

Syair 'Tuhan Sembilan Senti'



Tuhan Sembilan senti
Oleh : Taufiq Ismail

Indonesia adalah surga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok.

Di sawah petani merokok,
Di pabrik pekerja merokok,
Di kantor pegawai merokok,
Di reses parlemen anggota DPR merokok,
Di Mahkamah agung yang bergaun toga merokok,
Hansip – Bintara - Perwira nongkrong merokok,
Di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
Di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
Di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
Di perkuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im sangat ramah bagi perokok,
Tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
Di ruang kepala sekolah ada guru merokok,
Di kampus mahasiswa merokok,
Di ruang kuliah dosen merokok,
Di rapat POMG orang tua murid merokok,
Di kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntutan cara merokok,

Di angkot kijang penumpang merokok,
Di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
Di loket penjualan karcis orang merokok,
Di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
Di kapal peyeberangan antar pulau penumpang merokok,

Negri kita ini sungguh nirwana
Kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
Tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
Di warung tegal pengunjung merokok,
Di restoran di toko buku orang merokok,
Di café di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan asap rokok,
Bayangkan istri-istri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
Ketia melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul
Saling menularkan HIV-AIDS sesamanya,
Tapi kita tidak ketularan penyakitnya,

Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya
Mengepulkan asap rokok di kantor atau distopan bus,
Kita ketularan penyakitnya,

Nikoton lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah surga kultur
Pengembangan nikotin paling subur didunia,
Dan kita yang tak langsung menghirup sekalipun asap tembakau itu,
Bias ketularan kena,

Di puskesmaa pedesaan orang kampong merokok,
Di apotek yang antri obat juga merokok,
Di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
Di ruang tunggu dokter, pasien merokok,
Dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok,
Di pinggir lapangan voli orang merokok,
Menyandang raket badminton orang sambil merokok,
Pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
Panitia pertandingan balap mobil,
Pertandingan bulu tangkis,
Turnamen sepak bola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik,
Sambik ‘ek-ek’ orang goblok merokok,
Di dalam lift gedung 15 tingkat
Dengan tak acuh orang goblok merokok,
Di ruang siding ber-AC penuh,
Dengan cueknya pake dasi,
Orang-orang goblok merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na’im
Sangat ramah bagi orang perokok,
Tapi tempat siksa kubur hidup-hidup
Bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuh ruang siding ber-AC penuh,
Duduk sebuah ulama terhormat merujuk
Kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli “hisap”
Haasaba-yuhaasibu-hisaaban
Bukan ahli hisab ilmu falaq
Tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka
Terselip berhala-berhala kecil,
Sembilan senti panjangnya, putih warnanya,
Kemana-mana dibawa dengan setia,
Satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,


Mengintip kita dari balik jendela tuang siding,
Tampak kebanyakan mereka
Memegang rokok dengan tangan kanan
Cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.

Inikah gerangan bertanda
Yang terbanyak kelompok ashabul yamiin
Dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul
Di ruang AC penuh tiu.
Mamnu’ut tadkhiin, ya ustadz
Laa tasyrobut dukhoon,  ya ustadz
Kiyai ini ruangan ber-AC penuh
Haadzihi al-ghurfati malii’atun bi mukayyafi al hawwa’i
Kalau tak tahan, diluar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum, min fadhlik, ya ustadz.

25 penyakit ada dalam khamar.
Khamar diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi)
Daging khinzir diharamkan.
4.000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok,
Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz.
Wa yukharrimu ‘alaihimul khabaaitho.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang,
Karena pada zaman Rasulullah dahulu,
Sudah ada alcohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
Lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan,

Jangan,
Para ulama ahli hisap terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu,
Yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berpikir
Biarkan mereka berpikir.
Asap rokok diruangan ber-Ac itu makin pengap dan ada yang mulai tebatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan pada malam hari ini,
Sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena rokok.
Korban penyakit rokok lebih dasyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas.
Lebih gawat ketimbang korban bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
Cuma setingkat dibawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan,
Berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa di negri kita, jutaan jumlahnya,
Bersumbunyi di dalam kantong-kantong baju dan celana,
Di bungkus dengan kertas berwarni dan berwarna,
Di iklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayamum menyucikan diri,
Tidak perlu rukuk atau sujud unutk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
Karena orang akan khusuk dan fana
Dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajenasap tuhan-tuhan ini.

Rabbana, beri kami kekuatan unutk menghadapi berhala-berhala ini.


sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran”
(Az-zumar(39):9)

"Untuk Pribadi Yang Menawan Yang Telah Mengajarkan Bagaimana Memberi Nyawa Bagi Sebuah Impian Yang Penuh Semangat Dan Impian yang Bernyawa"