Risalah Hati
Ary
Al Ghaida’
Ingin
kutikam nafsu yang mencuri akal sehat dan menelantarkanku pada rimba tak
bernama, yang telah menyeretku kelubang tampa jiwa.
Ya robbi,,,
Ku
pahami ujian dari-Mu tak akan ada putusnya. Aku bersyukur, tak pernah kau uji
aku dengan yang kata orang memberatkan. Tapi ujian hati ini sungguh berat
bagiku. Aku tak tau apakah aku kuat dideranya? Mampukah aku bertahan atas semua
ini?
Salahkah dengan rasa ini Duhai Robbi?
S’moga
hanya kau dan aku saja yang tahu, ini rahasia hatiku. Rahasia hati atas
perasahaanku kepada sang pemilik suara indah. Aku tak berani menyebut ini
cinta, aku pun tak memberi nama atas perasaan apa yang menderaku. Debaran
jantungku sudah berada sejak pertama kali kudengar dia melantunkan ayat-ayat
suci Al-quran.
Duhai Rabbi, alamat apa ini untuk diriku?
Terbayang
betapa sulitnya hari-hariku nanti. Selalu terputar rekaman bagaimana dia melantunkan
ayat suci Al-quran dan bagaimana dia mengumandankan adzan, disetiap kali aku
bertemu sosoknya. Harus aku apakan perasaan ini, duhai Rabbi? Harus aku
kemanakan perasaan ini duhai Rabbi.
Rabbi,,,
Bukankah
aku takpernah meminta kepadamu akan perasaan ini? Tapi kau sendiri yang
tanamkan rasa ini dihatiku. Dan malang, aku tak bisa menghalaunya. Maka
tolonglah aku, selamatkan aku dari bencana hati ini. Tetapkanlah cinta ku
pada-Mu diatas segala jenis cinta, jangan sampai perasaan ini membuatku
mendosa.
Akankah melodi itu bisa kudengar selamanya?
Atau
hanya akan menjadi kenangan begitu aku kembali masuk dalam jerat aktivitasku di
kampusku?
Salahkah dengan rasa ini, duhai Rabbi?
Biarlah
Engkau tahu duhai Rabbi. Bahwa tatapan indah itu telah menjadi tatapan
pengharap buatku. Telah nyata hatiku menginginkannya. Walau terkadang rasio
kuat menolaknya. Tapi aku berharap dia menjadi bagian terindah dalam hidupku.
Kini,
dendang itu lain kurasa. Tak seperti hari-hari yang lalu. Yang indah, memberikan
ketenangan, memberi kesejukan, menggetarkan sanubari, mendatangkan energy
cinta. Sungguh tak lagi ku rasa, indahnya berganti pekat kelam. Kesejukan
berganti nafas menyesakkan. Dan energy cinta itu, kini memberangus seluruh
kekuatan jasadku. Bening suara itu bak jarum menusuk-nusuk gendang telinga. Aku
lemah, selemah-lemahnya duhai Rabbi. Maafkan hamba-Mu kini, hingga melodi
surgawi itu bgaiku tak ubahnya kidung kematian. Sudahi semua ini jangan
teruskan. Jika ini melemahkanku, ijinkanlah ini menjadi tatapan terindah
terakhir darinya. Aku tak mau menjadi semakin lemah.
Cinta
apa yang sedang Engkau tawarkan duhai Rabbi? Yang berakhir pada duka? Atau
bernama dikedalaman jiwa? Bahkan dihadapan-Mu, tak mau ku katakana semua ini
oleh sebab dirinya. Kau yang lebih tahu, tapi ampunilah jika aku berdusta
pada-Mu.
Ya Rabbi,,,
Tak
pernah ku tawarkan duka untuknya. Walaupun berabad aku berlari dalam mimpi kian
terkapar diperangkap waktu. Meski sang beda tajam menatanya. Tak surut tanganku
terentang menyambutnya. Tak ada pilihan selain membincangkan kehadirannya
disetiap detik yang ku punya, dan aku tak ragu mengatakan bersama dengannya
walaupun sebatas embun angin kunamai Ia anugerah.
Sampai
dia ada disetiap hembusan nafasku, dia ada disetiap detak jantungku, namanya
selalu ada disetiap kata yang ingin aku ucapkan, bayangannya ada disetiap
pandangan mataku, wajahnya terukir jelas dilubuk hatiku, dan ku temukan namanya
ada setiap do’a ku.
Hingga
sekumpulan angin yang berbisik diantara kepak sepasang merpati juga nyanyian
mistis serta tetes hujan saat pertunangan bunga dan kupu-kupu. Jika pernah kau
mendengarnya, maka begitulah aku padanya. Jika waktu ada digenggaman, Cuma lagu
rindu kunyanyikan buatnya. Ingin rasanya kuhapus kabut yang luluh diwajahnya,
sampai tak tersisa kembang bermekaran sampai berpulang siburung pengembara. Sehingga
api yang terus menari dimataku menguapkan rindu hingga pucuk keheningan. Aku
berharap s’moga kerinduan tak terus berlabuh pada kesenyapan.
Tapi
kini, secangkir teh yang ku tunggu tak juga dia hidangkan. Hingga aku menyadari kesalahan terbesarku
adalah mencintainya, tetapi tak berpikir tentangnya. Perlahan gerimis menghapus
jejaknya sampai tak tersisa, dan dipersinggahan yang kami lewati tak tersisa
apa-apa selain cinta yang terus mengelana. Sampai harapan membatu dan cinta
entah kemana berlabuh.
Dan
diantara rembulan yang tersembunyi dalam gelap dan gemerisik angin yang datang
dari kejauhan aku tak tahu kemana akan kubisikkan cinta? Jalan panjang yang
penuh sia-sia dan dia entah dimana. Dan saat cinta bicara sendiri, saat sakit
tak juga usai, saat usaha hanya berisi kehampaan, saat it juga aku berusaha
menemukan jalan pulang. Dengan topan yang menyembunyikan langit, dengan angin
pusar membawa salju. Sekarang aku mengaum bagai hewan buas, sebentar kemudian bagai anak kecil aku
merengut kelu. Kini aku tersadar, bahwa setinggi-tinggi dan semulia-mulia cinta
adalah cinta sang Rabbi.
Duhai rabbi,,,
Pancarkanlah
cahaya cinta kasih-Mu kepadaku. Hingga mendung tak berkesudahan diwajahku akan
sirna. Dan kirimkanlah energy positif-Mu kepadaku. Hingga jiwa besar menuntut
jasad untuk senantiasa bersemangat menghamba kepada-Mu. Hingga aku benar-benar
menjadi wanita yang kuat. Hingga Tak akan dia temukan aku terkapar oleh sebab
kekalahan serupa api bagiku yang membakar belokan ditiap jalanku.
Selamat
tinggal laut yang menyimpan amarah, selamat tinggal bumi yang melahirkan duka.
Tak perlalu kau cari surga sebab ia tersembunyi dalam hatimu, dan jika tak kau
temukan cinta biarkan cinta yang menemukanmu. Sejarah tak mencatat pecundang,
walaupun bumi melahirkannya. Bahkan harta dan kebangsaan, tak membuat laki-laki
menjadi pangeran, karena cinta sejati seorang putrilah yang mengubahkan.
Mungkin kau adalah bunga namun aku bukan kupu-kupu. Bismillah, bersama-Nya tak
ada jalan buntu…